Inilah jawaban logis tentang mengapa umat islam shalat menghadap Kabah, pertanyaan yang diajukan oleh seorang non-muslim kepada seorang Ustadz yang dapat kita ambil hikmah dari dialog singkat berikut ini.
Dalam sebuah kesempatan, seorang non-muslim (Si A) sedang berkunjung ke rumah temannya yang tinggal tidak jauh dari sebuah Musholla, kebetulan pada sore itu ada tausyiah rutin yang disampaikan oleh seorang ustadz, dalam dakwahnya sang ustadz banyak memberikan tausyiah tentang Kiblat dan Kabah. Si Non-Muslim adalah orang yang biasa berkomentar di sosial media dan penasaran dan bertanya langsung pada si Ustadz. Seusai memberikan tausyiah, dalam perjalanan pulang si Non-Muslim datang menghampiri si Ustadz, dan terjadilah dialog berikut ini.
Si A : mengapa orang Islam menyembah kotak hitam?
Ustadz : salah tu bro. Kotak hitam itu disebut Ka’bah. Umat Islam ga menyembah kotak hitam, tapi menyembah Allah.
Si A : baiklah kalau begitu saya ulang pertanyaannya. Mengapa Islam menghadap Kabah saat sembahyang – shalat -, sebuah kotak yang berwarna hitam? Apakah Allah itu ada di dalam Ka’bah tersebut?
Belum sempat sang ustadz menjawab, terdengar handphone nya si A berbunyi. Si A menjawab panggilan teleponnya, sementaran sang ustadz dengan sabar menanti. Setelah si A selesai menjawab panggilan di handphone nya, dia memandang sang ustadz. Sang ustadz tersenyum.
Si A : mengapa tersenyum? Apa jawaban dari pertanyaan saya tadi?
Ustadz : hmm… perlukah saya menjawab pertanyaanmu?
Si A : ah, pasti kau tidak bisa menjawab bukan? (tertawa)
Ustadz : bukan itu maksud saya. Tapi saya mencoba menggunakan teori yang kau gunakan untuk membuat pertanyaan yang kau ajukan padaku. Saya melihat kau kurang menyadarinya..
Si A : mengapa kau bicara begitu?
Ustadz : tadi saya lihat kau bicara sendiri, ketawa dan tersenyum sendiri. Dan kau mencium HP itu sambil bicara “I love u mom”.
Si A : saya tidak bicara sendiri. Saya bicara dengan istri saya. Dia yang telpon saya tadi.
Ustadz : mana istrimu? Saya tak melihatnya..
Si A : istri saya di Tuban. Dia telpon saya, saya jawab menggunakan telpon. Apa masalahnya? [nada marah]
Ustadz : boleh saya lihat HP kamu?
Si A mengulurkan HPnya kepada sang ustadz.
Sang ustadz menerimanya, lalu membolak-balikan HP itu, menggoncang-goncangnya, mengetuk-ngetukHP tersebut ke meja.
Lantas sang ustadz membanting HP tersebut sekuat tenaga ke lantai. Prakkk… Pecah… Muka si A merah menahan marah. Sementara sang ustadz menatapnya sambil tersenyum. Kemudian sang bertanya ke si A.
Ustadz : mana istrimu? Saya lihat dia tidak ada disini. Saya pecahkan HP ini pun istrimu tetap tak terlihat di dalamnya?
Si A : mengapa kau bodoh sekali? Teknologi sudah maju. Kita bisa berbicara jarak jauh menggunakan telfon. Apa kau tak bisa menggunakan otakmu? (nada marah)
Ustadz : Alhamdulillah (senyum). Begitu juga halnya dengan Allah SWT. Umat Islam sembahyang menghadap Ka’bah bukan berarti umat Islam menyembah Ka’bah. Tetapi umat Islam sembahyang atas arahan Allah. Allah mengarahkan umat Islam untuk sembahyang menghadap Ka’bah juga bukan berarti Allah ada di dalam Ka’bah. Begitu juga dengan dirimu dan istrimu. Istrimu menelfon menggunakan HP, ini bukan berarti istrimu ada di dalam HP. Tetapi ketentuan telekomunikasi menetapkan peraturan, kalau ingin bicara lewat telfon harus tekan nomor yang tepat, barulah akan tersambung dan kau bisa berbicara melalu HP meski istrimu tak ada di dalamnya.
Si A : Terima kasih, Saya sudah mengerti sekarang.
Ustadz : Jika demikian, saya mohon izin untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Si A : Silahkan.
Demikian dialog singkat tentang tauhid (mengenal Allah), semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari dialog diatas. Semoga bermanfaat.